Minggu, 18 September 2011

PP RI NO 26 Tahun 1985 TENTANG JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1985
TENTANG
JALAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai jalan;
b.bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu ditetapkan peraturan pemerintah tentang Jalan;

Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3186);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG JALAN. 

BAB I KETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.Pembinaan Jalan adalah kegiatan-kegiatan penanganan jaringan jalan terdiri dari penentuan sasaran yang meliputi penyusunan rencana umum jangka panjang, penyusunan rencana jangka menengah dan penyusunan program, serta perwujudan sasaran yang meliputi pengadaan dan pemeliharaan;
2.Pembina Jalan adalah Instansi atau Pejabat atau Badan Hukum atau Perorangan yang ditunjuk untuk melaksanakan sebagian atau seluruh wewenang pembinaan jalan;
3.Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan;
4.Pembina Jalan Nasional adalah Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya untuk menyelenggarakan pembinaan jalan di tingkat nasional dan melaksanakan pembinaan Jalan Nasional;
5.Pembina Jalan Propinsi adalah Pemerintah Daerah Tingkat I atau *21219 Instansi yang ditunjuknya untuk melaksanakan pembinaan Jalan Propinsi;
6.Pembina Jalan Kabupaten adalah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Instansi yang ditunjuknya untuk melaksanakan Pembinaan Jalan Kabupaten;
7.Pembina Jalan Kotamadya adalah Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya atau Instansi yang ditunjuknya untuk melaksanakan Pembinaan Jalan Kotamadya;
8.Pembina Jalan Desa adalah Pemerintah Desa/Kelurahan;
9.Pembina Jalan Khusus adalah Pejabat atau orang yang ditunjuk oleh dan bertindak untuk dan atas nama pimpinan Instansi atau Badan Hukum atau Perorangan untuk melaksanakan Pembinaan Jalan Khusus;
10.Leger adalah dokumen yang memuat catatan mengenai perkembangan suatu ruas jalan. 

BAB II JARINGAN JALAN 

Bagian Pertama Peranan Jalan
Pasal 2

(1)Pengadaan jalan diselenggarakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran.
(2)Pengadaan jalan diarahkan untuk memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah-daerah terpencil.
(3)Pengadaan jalan diarahkan untuk mewujudkan :
a.peri kehidupan rakyat yang serasi dengan tingkat kemajuan yang sama, merata, dan seimbang.
b.daya guna dan hasil guna upaya pertahanan keamanan Negara. 


Pasal 3

(1)Pembina jalan wajib mengusahakan agar jalan dapat digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan mengusahakan agar biaya operasi kendaraan menjadi serendah-rendahnya.
(2)Pembina jalan wajib mengusahakan agar jalan dapat mendorong ke arah terwujudnya keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat pertumbuhannya dengan mempertimbangkan satuan wilayah pengembangan dan orientasi geografis pemasaran sesuai dengan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang dituju.
(3)Dalam usaha mewujudkan pelayanan jasa distribusi yang seimbang, Pembina Jalan wajib memperhatikan bahwa jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki. 

Pasal 4

(1)Sistem Jaringan Jalan Primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut
a.Dalam satu Satuan Wilayah Pengembangan mengkubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya sampai ke Persil.
b.Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar Satuan Wilayah Pengembangan.

(2)Jalan Arteri Primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
(3)Jalan Kolektor Primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
(4)Jalan Lokal Primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan Persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan Persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan Persil, atau kota di bawah jenjang ketiga sampai Persil. 

Pasal 5

(1)Sistem jaringan Jalan Sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
(2)Jalan Arteri Sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
(3)Jalan Kolektor Sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua kawasan sekunder ketiga.
(4)Jalan Lokal Sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan Perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. 

Pasal 6

(1)Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan primer dan Jalan Arteri Sekunder dilakukan secara berkala oleh Menteri setelah mendengar pendapat Menteri Perhubungan sesuai dengan tingkat perkembangan wilayah yang telah dicapai.
(2)Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan sekunder kecuali Jalan Arteri Sekunder dilakukan secara berkala oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, atas usul Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dengan memperhatikan Petunjuk Menteri dan Menteri Perhubungan sesuai dengan tingkat perkembangan kawasan kota yang telah dicapai. 

Bagian Kedua Persyaratan jalan menurut peranan
Pasal 7

(1)Jalan Arteri Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter.
(2)Jalan Arteri Primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3)Pada Jalan Arteri Primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
(4)Jumlah jalan masuk ke Jalan Arteri Primer dibatasi secara efisien dan didesain sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) masih tetap terpenuhi.
(5)Persimpangan pada Jalan Arteri Primer, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
(6)Jalan Arteri Primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
(7)Persyaratan teknis jalan masuk ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 8

(1)Jalan Kolektor Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 (tujuh) meter.
(2)Jalan Kolektor Primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3)Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) masih tetap terpenuhi.
(4)Jalan Kolektor Primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
Pasal 9
(1)Jalan Lokal Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 6 (enam) meter. (2)Jalan Lokal Primer tidak terputus walaupun memasuki desa.
Pasal 10

(1)Jalan Arteri Sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter.
(2)Jalan Arteri Sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3)Pada Jalan Arteri Sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
(4)Persimpangan pada Jalan Arteri Sekunder, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). 

Pasal 11

Jalan Kolektor Sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. 

Pasal 12

(1)Jalan Lokal Sekunder didesain berdasarkan kecapatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 5 (lima) meter.
(2)Persyaratan teknik Jalan Lokal Sekunder sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih.
(3)Jalan Lokal Sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan tidak kurang dari 3 (tiga setengah) meter. 

Pasar 13 

Ketentuan teknik jalan bagi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 14

(1)Bangunan pelengkap jalan harus disesuaikan dengan peranan jalan yang bersangkutan.
(2)Ketentuan-ketentuan teknik bangunan pelengkap jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 15

Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pemakai jalan harus menuhi ketentuan teknik perlengkapan jalan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dengan memperhatikan pendapat Menteri. 

Pasal 16

Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan pemakai *21223 jalan harus memenuhi ketentuan teknik perlengkapan jalan yang ditetapkan oleh Menteri. 

BAB III BAGIAN-BAGIAN JALAN
Bagian Pertama Daerah Manfaat Jalan 

Pasal 17

(1)Daerah Manfaat Jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan.
(2)Ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. 

Pasal 18

(1)Badan jalan hanya diperuntukkan bagi arus lalu lintas dan pengamanan terhadap konstruksi jalan.
(2)Lebar, tinggi, dan kedalaman ruang bebas ditetapkan lebih lanjut oleh Pembina Jalan.
(3)Tinggi ruang bebas bagi Jalan Arteri dan Jalan Kolektor paling rendah 5 (lima) meter dengan kedalaman lebih dari 1 (satu setengah) meter.
(4)Dilarang menggunakan badan jalan dan ruang bebas untuk keperluan yang dapat mengganggu peruntukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Pasal 19

(1)Saluran tepi jalan, hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air, agar badan jalan bebas dari pengaruh air.
(2)Ukuran saluran tepi jalan ditetapkan sesuai dengan lebar permukaan jalan dan keadaan lingkungan.
(3)Dalam hal tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh Menteri saluran tepi jalan dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan
(4)Dilarang menggunakan saluran tepi jalan untuk keperluan yang dapat mengganggu peruntukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3). 

Pasal 20

(1)Ambang pengaman jalan hanya diperuntukkan bagi pengamanan konstruksi jalan.
(2)Dilarang menggunakan ambang pengaman jalan untuk keperluan yang dapat mengganggu peruntukan sebagaimana dimaksud dalam *21224 ayat (1). 

Pasal 21

(1)Bangunan utilitas yang mempunyai sifat pelayanan wilayah pada sistem jaringan jalan primer di luar kota, harus ditempatkan di luar Daerah Milik Jalan.
(2)Bangunan utilitas yang mempunyai sifat pelayanan lokal pada sistem jaringan jalan primer di luar kota, dapat ditempatkan di luar Daerah Manfaat Jalan sejauh mungkin mendekat ke batas Daerah Milik Jalan.
(3)Bangunan utilitas pada sistem jaringan jalan primer di dalam kota dan sistem jaringan jalan sekunder dapat ditempatkan di dalam Daerah Manfaat Jalan dengan ketentuan :
a.untuk yang berada di atas tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan, sehingga tidak menimbulkan hambatan samping bagi pemakai jalan;
b.untuk yang berada di bawah tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan, sehingga tidak akan mengganggu keamanan konstruksi jalan.

(4)Jarak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan hurub b ditentukan oleh Pembina Jalan yang bersangkutan berdasarkan ketentuan teknik jalan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5)Penempatan, pembuatan, dan pemasangan bangunan utilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus direncanakan dan dikerjakan sesuai dengan persyaratan berdasarkan ketentuan teknik jalan yang ditetapkan oleh Menteri.
(6)Rencana kerja, jadwal kerja, dan cara-cara pengerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus disetujui oleh Pembina Jalan yang bersangkutan.
(7)Hal-hal di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pembina Jalan yang bersangkutan. 

Pasal 22

(1)Pohon-pohon pada sistem jaringan jalan primer di luar kota harus ditanam di luar Daerah Manfaat Jalan.
(2)Pohon-pohon pada sistem jaringan jalan primer di dalam kota dan pada sistem jaringan jalan sekunder dapat ditanam di batas Daerah Manfaat Jalan, median atau di jalur pemisah.
(3)Hal-hal di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Pembina Jalan yang bersangkutan. 

Pasal 23

Menteri menetapkan persyaratan dalam hal memasang, membangun, memperbaiki, mengganti baru, memindahkan, dan merelokasi bangunan *21225 utilitas yang terletak di dalam, pada, sepanjang, melintas, dan di bawah Daerah Manfaat Jalan. 

Pasal 24

(1)Menteri Perhubungan mengatur pengadaan, penempatan, pemasangan, perbaikan, penggantian baru, pemindahan, dan pemeliharaan rambu-rambu alumina dan tanda-tanda jalan setelah mendengar pendapat Menteri.
(2)Pembina Jalan melaksanakan pengadaan, penempatan, dan pemasangan perlengkapan jalan di Daerah Manfaat Jalan pada pembangunan jalan baru termasuk peningkatan jalan setelah mendengar pendapat Menteri Perhubungan.
(3)Menteri mengatur pengadaan, pemasangan, perbaikan, penggantian baru, pemindahan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 

Pasal 25

Pembina Jalan mengambil segala upaya agar Daerah Manfaat Jalan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya apabila terjadi gangguan dan hambatan dalam penggunaan Daerah Manfaat Jalan. 

Pasal 26

Dalam hal Daerah Manfaat Jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit, melintas, atau di bawah bangunan utilitas maka persyaratan teknik dan pengaturan pelaksanaannya, ditetapkan bersama oleh Pembina Jalan dan pemilik bangunan utilitas yang bersangkutan, dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan pihak yang memiliki bangunan yang telah ada lebih dahulu. 

Bagian Kedua Daerah Milik Jalan 

Pasal 27

(1)Daerah Milik Jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Daerah Milik Jalan diperuntukkan bagi Daerah Manfaat Jalan dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur alumina di kemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengaman jalan. 

Pasal 28

(1)Penggunaan Daerah Milik Jalan selain dari peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), harus dengan izin Pembina Jalan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.
(2)Apabila Daerah Milik Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan untuk Pembinaan jalan, maka pemegang izin yang bersangkutan wajib mengembalikan keadaan Daerah Milik Jalan seperti keadaan semula, atas beban biaya pemegang izin yang bersangkutan.
(3)Dalam hal pemegang izin tidak mengembalikan keadaan Daerah Milik Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Pembina Jalan dapat mengembalikan keadaan seperti semula, atas biaya dibebankan kepada pemegang izin yang bersangkutan. 

Pasal 29

Penggunaan Daerah Milik Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, yang mengakibatkan kerusakan jalan dapat dikenakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980. 

Pasal 30

Pembina Jalan mengambil segala upaya agar Daerah Milik Jalan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya, apabila terjadi gangguan dan hambatan dalam penggunaan Daerah Milik Jalan. 

Pasal 31

Menteri menetapkan persyaratan dalam hal memasang, membangun, memperbaiki, mengganti baru, memindahkan dan merelokasi bangunan utilitas yang bersilangan, berpotongan, berhimpit, melintas dengan atau di bawah Daerah Milik Jalan. 

Pasal 32

Dalam hal Daerah Milik Jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit, melintas dan di bawah bangunan utilitas, maka persyaratan teknik dan pengaturan pelaksanaannya ditetapkan bersama oleh Pembina Jalan dan pemilik bangunan utilitas yang bersangkutan dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan pihak yang memiliki bangunan yang telah ada lebih dahulu. 

Bagian Ketiga Daerah Pengawasan Jalan 

Pasal 33

(1)Daerah Pengawasan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 merupakan ruang sepanjang jalan di luar Daerah Milik Jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, yang ditetapkan oleh Pembina Jalan, dan diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan.
(2)Dalam pengawasan penggunaan Daerah Pengawasan Jalan, Pembina Jalan berhak mengeluarkan larangan terhadap kegiatan tertentu yang dapat mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konstruksi jalan, atau memerintahkan dilakukan perbuatan tertentu untuk menjamin peruntukan Daerah Pengawasan Jalan. 

Pasal 34

Pembina Jalan menetapkan batas luar Daerah Pengawasan Jalan yang diukur dari as jalan dengan jarak berdasarkan ketentuan tersebut di bawah ini
a.Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20 (dua puluh) meter; b. Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 (lima belas) meter; *21227 c.Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 (sepuluh) meter;
d.Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 (dua puluh) meter;
e.Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter;
f.Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 (empat) meter;
g.Jembatan tidak kurang dari 100 (seratus) meter ke arah hilir atau hulu. 


BAB IV PELIMPAHAN DAN PENYERAHAN WEWENANG PEMBINAAN JALAN 

Pasal 35

Wewenang pembinaan jalan ada pada Menteri. 

Pasal 36

(1)Wewenang penyusunan rencana umum jangka panjang, rencana jangka menengah, dan penyusunan program pewujudan jaringan jalan primer ada pada Menteri.
(2)Wewenang penyusunan rencana umum jangka panjang, rencana jangka menengah, dan penyusunan program pewujudan jaringan jalan sekunder diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan perincian sebagai berikut :
a.untuk kota-kota yang merupakan ibukota propinsi kepada Pemerintah Daerah tingkat II Kabupaten atau Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya yang bersangkutan dengan mendapat petunjuk dari Gubernur Kepala Daerah;
b.untuk kota-kota yang bukan merupakan Kotamadya dan bukan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten;
c.untuk kota-kota yang merupakan Kotamadya dan bukan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pemerintah Derah Tingkat II Kotamadya;
d.untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Pemerintah Daerah Khusus lbukota Jakarta.

(3)Wewenang penyusunan rencana umum jangka panjang, rencana jangka menengah, dan program pewujudan Jalan Khusus ada pada Pejabat/ Instansi di pusat atau di daerah atau Badan Hukum atau Perorangan yang bersangkutan. 

Pasal 37

(1)Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan Jalan Arteri pada jaringan jalan primer ada pada Menteri atau diserahkan kepada badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol.
(2)Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan Jalan Kolektor pada jaringan jalan primer ada pada Menteri atau diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten sesuai dengan pengelompokan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45.
(3)Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan Jalan Lokal pada jaringan jalan primer diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten.
(4)Wewenang perancanaan teknis dan pembangunan jalan pada jaringan jalan sekunder ada pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
(5)Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c, Pasal 44 ayat (1) huruf c, dan Pasal 45 ayat (1) huruf d ada pada Menteri atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(6)Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan Jalan Khusus ada pada Pejabat/instansi di pusat atau di daerah atau Badan Hukum atau Perorangan yang bersangkutan. 

Pasal 38

(1)Wewenang pemeliharaan Jalan Arteri pada jaringan Jalan Primer ada pada Menteri atau dilimpahkan dalam rangka tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I atau diserahkan kepada badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol.
(2)Wewenang pemehharaan Jalan Kolektor pada jaringan jalan primer ada pada Menteri atau dilimpahkan kepada Pejabat/ Instansi di daerah atau diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten sesuai dengan pengelompokan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45.
(3)Wewenang pemeliharaan Jalan Lokal pada jaringan jalan primer diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten.
(4)Wewenang pemeliharaan jalan pada jaringan jalan sekunder ada pada Pcmerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
(5)Wewenang pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c, Pasal 44 ayat (1) huruf c, dan Pasal 45 ayat (1) huruf d ada pada Menteri atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(6)Wewenang pemeliharaan Jalan Khusus ada pada Pejabat/Instansi di pusat atau di daerah atau Badan Hukum atau Perorangan yang bersangkutan. 

Pasal 39 

(1)Wewenang pembinaan jalan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), Pasal 37 ayat (2), dan ayat (3) menjadi urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan, dan dilaksanakan dengan syarat :
a.perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Pemerintah Daerah;
b.alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan Pemerintah Derah;
c.pembiayaannya dibebankan kepada Pemerintah Daerah.

(2)Penyerahan wewenang pembinaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) kepada badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol, dilakukan dengan syarat bahwa urusan sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol meliputi :
a.perangkat pelaksanaannya adalah perangkat badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol;
b.alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol;
c.sumber pembiayaannya dari badan usaha negara yang diserahi tugas pengelolaan jalan tol. 


Pasal 40

Pelimpahan wewenang pembinaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) kepada Pejabat Pusat di daerah dilaksanakan dengan syarat :
a.tanggung jawab tetap ada pada Menteri;
b.perangkat pelaksanaannya adalah perangkat pelaksanaan pusat di daerah;
c.alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan pusat di daerah;
d.pembiayaannya dari Departemen yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan. 


Pasal 41

Pelimpahan wewenang pemeliharaan Jalan Arteri pada jaringan jalan primer kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dalam rangka tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dilaksanakan dengan syarat :
a.tanggung jawab tetap ada pada Menteri;
b.perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Pemerintah Daerah yang bersangkutan;
c.alat perlengkapannya adalah alat perlengkapan Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan;
d.pembiayaannya dari Departemen yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan. 


Pasal 42

(1)Sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Menteri setelah mendengar Menteri yang bersangkutan dan Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dapat :
a.mengambil alih sementara wewenang pembinaan suatu ruas jalan;
b.langsung menangani secara fisik suatu ruas jalan;
c.menutup sementara suatu ruas jalan.

(2)Pengambilalihan, penanganan fisik, dan penutupan suatu ruas jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat didasarkan pada salah satu atau beberapa pertimbangan di bawah ini :
a.ruas jalan dipandang sangat strategis terhadap pertahanan dan keamanan nasional;
b.ruas jalan dipandang sangat penting dilihat dari segi ekonomi nasional;
c.ruas jalan tertentu yang diusulkan oleh Pembina Jalan yang bersangkutan dengan pertimbangan sosial, politik, dan budaya masyarakat setempat.

(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat darurat untuk jangka waktu terbatas dengan tidak mengubah status jalan semula dari segi wewenang pembinaannya, kecuali ditetapkan tersendiri oleh Menteri.

BAB V PEMBINAAN JALAN 

Bagian Pertama Pengelompokan jalan menurut wewenang pembinaannya 

Pasal 43

(1)Termasuk kelompok Jalan Nasional adalah :
a.Jalan Arteri Primer;
b.Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi;
c.Jalan selain daripada yang termasuk dalam huruf a dan huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional.

(2)Penetapan stasus suatu jalan sebagai Jalan Nasional, dilakukan dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 44

(1)Termasuk kelompok Jalan Propinsi adalah :
a.Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya;
b.Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/kotamadya; c.Jalan selain daripada yang termasuk dalam huruf a dan huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan propinsi;
d.Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

(2)Penetapan status suatu jalan sebagai Jalan Propinsi dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri. 

Pasal 45

(1)Termasuk kelompok Jalan Kabupaten adalah :
a.Jalan Kolektor Primer yang tidak termasuk dalam Pasal 43 dan Pasal 44;
b.Jalan Lokal Primer;
c.Jalan Sekunder lain selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44;
d.Jalan selain daripada yang termasuk dalam huruf a, huruf b, dan huruf c yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan kabupaten.

(2)Penetapan status suatu jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, sebagai Jalan Kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah,Tingkat I, atas usul Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan *21231 dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)Penetapan status suatu ruas jalan sebagai Jalan Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 46

(1)Termasuk kelompok Jalan Kotamadya adalah jaringan jalan sekunder di dalam kotamadya.
(2)Penetapan status suatu ruas Jalan Arteri Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usaha Pemerintah Daerah Kotamadya yang bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)Penetapan status suatu ruas Jalan Kolektor Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemerintah Daerah Kotamadya yang bersangkutan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(4)Penetapan status suatu ruas Jalan Lokal Sekunder sebagai Jalan Kotamadya dilakukan dengan Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. 

Pasal 47

(1)Termasuk kelompok Jalan Desa adalah jaringan jalan sekunder di dalam desa.
(2)Penetapan status suatu ruas jalan sebagai Jalan Desa dilakukan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 48

(1)Termasuk kelompok Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh Instansi/Badan Hukum/Perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing.
(2)Penetapan status suatu ruas Jalan Khusus dilakukan oleh Instansi/ Badan Hukum/Perorangan yang memiliki ruas jalan khusus tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 

Pasal 49

(1)Suatu ruas jalan dapat ditingkatkan statusnya menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.ruas jalan tersebut berperan penting dalam pelayanan terhadap wilayah yang lebih luas dari wilayah semula;
b.ruas jalan tersebut makin dibutuhkan masyarakat dalam rangka pengembangan sistem transportasi.

(2)Suatu ruas jalan dapat diturunkan statusnya menjadi lebih rendah apabila dipenuhi persyaratan sebagai berikut :  a.ruas jalan tersebut oleh sebab-sebab tertentu, menjadi berkurang peranannya dan menjangkau wilayah terbatas, lebih sempit dari wilayah semula;
b.ruas jalan tersebut lebih banyak melayani masyarakat dalam wilayah wewenang Pembina Jalan yang baru.

(3)Peralihan status sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diusulkan dari Pembina Jalan yang statusnya lebih rendah kepada Pembina Jalan yang statusnya lebih tinggi.
(4)Peralihan status sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disarankan dari Pembina Jalan yang statusnya lebih tinggi kepada pembina Jalan yang statusnya lebih rendah.
(5)Atas usulan ataupun saran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) Pembina Jalan yang menerima usulan atau saran tersebut memberikan pendapatnya kepada pejabat yang menetapkan status semula dari ruas jalan yang bersangkutan.
(6)Penetapan status ruas jalan menurut proses peralihan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan status baru dari ruas jalan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat pejabat yang menetapkan status semula. 

Bagian Kedua Penentuan Sasaran
Paragaf 1 Rencana umum jangka panjang jaringan jalan 

Pasal 50

Rencana umum jangka panjang jaringan jalan berisi gambaran wujud jaringan jalan yang ingin dicapai untuk sekurang-kurangnya mencakup tahap 10 (sepuluh) tahun mendatang. 

Pasal 51

(1)Rencana umum jangka panjang jaringan jalan primer disusun dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional jangka panjang, rencana umum tata ruang, rencana tata guna tanah, dan rencana umum transportasi.
(2)Rencana umum jangka panjang jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)Rencana umum jangka panjang Jalan Khusus disusun dengan memperhatikan rencana umum jangka panjang jaringan jalan primer dan sekunder serta pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 

Paragraf 2 Rencana Jangka Menengah Jaringan Jalan 

Pasal 52

Rencana jangka menengah jaringan jalan berisi kumpulan rencana individual, merupakan kuantifikasi dari sasaran fungsional yang  ingin dicapai, dalam bentuk jumlah satuan fisik untuk jangka waktu 5 (lima) tahun mendatang disertai perkiraan pembiayaannya. 

Pasal 53

(1)Rencana jangka menengah jaringan jalan primer disusun dengan memperhatikan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
(2)Rencana jangka menengah jaringan jalan sekunder disusun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan petunjuk Pembina Jalan Nasional.
(3)Rencana jangka menengah Jalan Khusus disusun dengan memperhatikan rencana jangka menengah jaringan jalan primer dan sekunder dan pedoman yang dikeluarkan oleh Menteri. 

Paragraf 3 Program Pewujudan Jaringan Jalan 

Pasal 54

Program pewujudan jaringan jalan merupakan gabungan susunan jadwal waktu pelaksanaan untuk masing-masing rencana individual disertai perkiraan biaya yang diperlukan setiap tahunnya, sebagai pedoman evaluasi dana dan kegiatan pelaksanaan tahunan. 

Pasal 55

(1)Program pewujudan jaringan jalan primer disusun dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Lima Tahun, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Program pewujudan jaringan jalan sekunder disusun dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Lima Tahun, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)Program pewujudan Jalan Khusus disusun dengan memperhatikan program pewujudan jaringan jalan primer dan sekunder serta pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 

Bagian Ketiga Pengadaan
Paragraf 1 Rencana Teknik Jalan 

Pasal 56

(1)Rencana teknik jalan merupakan suatu kumpulan dokumen teknik yang memberikan gambaran produk yang ingin diwujudkan, yang terdiri dari gambar teknik, syarat-syarat, dan spesifikasi pekerjaan.
(2)Reacana teknik jalan harus memperhatikan keadaan serta faktor pengaruh lingkungan dan harus mewujudkan hasil optimal sesuai dengan kebutuhan pemakai jalan dan penghematan sumber daya.
(3)Rencana teknik jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan teknik mengenai :
a.Daerah Manfaat Jalan;
b.Daerah Milik Jalan;
c.Daerah Pengawasan Jalan;
d.Dimensi Jalan;
e.Beban Rencana dan Volume Lalulintas dan Kapasitas; f.Persyaratan Geometrik Jalan;
g.Konstruksi Jalan;
h.Kelestarian Lingkungan Hidup.

(4)Ketentuan-ketentuan teknik jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur oleh Menteri. 

Pasal 57

(1)Perencanaan teknik jembatan diperhitungkan untuk mampu menerima muatan rencana sumbu terberat dan konfigurasi rencana sumbu kendaraan yang diizinkan lewat, sesuai dengan ketentuan teknologi alat transpor yang berlaku.
(2)Ketentuan mengenai muatan rencana sumbu terberat dan konfigurasi rencana sumbu kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar Menteri Perhubungan. 

Pasal 58

(1)Rencana teknik jalan dari jaringan jalan primer harus disetujui oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
(2)Rencana teknik jalan dari jaringan jalan sekunder harus disetujui oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan dengan ketentuan :
a.untuk jaringan jalan sekunder di kabupaten/kotamadya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
b.untuk jaringan jalan sekunder di desa oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.

(3)Rencana tenik jalan untuk Jalan Khusus yang melampaui batas wilayah administrasi tingkat tertentu harus mendapat persetujuan dari :
a.Menteri atau Pejabat yang ditunjuk olehnya dalam hal Jalan Khusus tersebut melalui lebih dari satu wilayah propinsi;
b.Pemerintah Daerah Tingkat I atau Pejabat yang ditunjuk olehnya dalam hal Jalan Khusus tersebut melalui lebih dari satu wilayah kabupaten. 


Paragraf 2 Pembangunan 

Pasal 59